Viralnya KKN Di Desa Penari Membuat Nama Rowo Bayu Muncul – Viralnya KKN di Desa Penari membuat nama Rowo Bayu muncul. Walau sebenarnya tempat ini ialah tempat dari berlangsungnya Perang Puputan menantang Belanda.
Rowo Bayu jadi saksi perang terdahsyat menurut Belanda. Karena dalam perang yang dikatakan sebagai perang Puputan Bayu. Puputan mempunyai makna penghabisan, sesaat Bayu ialah tempat perang, yang sekarang jadi satu diantara desa di Kecamata Songgon.
Pemicu berlangsungnya Puputan Bayu ini karena masyarakat Blambangan berang serta tidak tahan dengan ketentuan penjajah Belanda yang mencekik kehidupan mereka. Belanda mempekerjakan paksa masyarakat serta tidak menyiapkan makanan buat mereka. Kesengsaraan, kelaparan, dan serba hidup kekurangan yang selanjutnya menyebabkan penyakit serta selesai pada kematian yang tinggi sekali.
“Akibatnya karena itu masyarakat Blambangan menantang. Dibawah kepemimpinan anak dari Raja Blambangan Danureja, yaitu Wong Agung Wilis. Mereka menyerang VOC, tetapi tertangkap dan diasingkan ke Banda, Kepulauan Maluku, pada 1768,” tutur Budi Setianto, satu diantara budayawan serta penulis di Banyuwangi Minggu (1/9/2019).
Seperginya Wilis, kesewenang-wenangan VOC pada rakyat Blambangan makin menjadi-jadi. Keadaan ini membuat banyak masyarakat pergi dari kampungnya untuk selamatkan diri. Sebagai tempat arah ialah satu wilayah bernama Bayu (saat ini terhitung daerah Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi) yang terdapat di lereng Gunung Raung. Pangeran Jagapati hadir ke tempat ini bersama dengan beberapa pengikutnya yang masih sisa.
Dengar Pangeran Jagapati ada di Bayu, makin banyak rakyat Blambangan banyak yang datang ke tempat itu. Mereka meyakini, Pangeran Jagapati dapat meneruskan perjuangan Wong Agung Wilis untuk hentikan kekejian Belanda.
“Yang paling menyeramkan buat Belanda ialah sebelum perang Puputan Bayu. Warga Blambangan itu keji. Mereka tidak enggan memotong kepala tentara Belanda yang tertangkap selanjutnya diarak keliling kampung. Kepala itu selanjutnya di tempatkan di tepi jalan ke arah Desa Bayu. Ini lah yang membuat mereka selanjutnya menyerang masyarakat yang bersembunyi di Bayu,” imbuhnya.
Dibawah komando Pangeran Jagapati, rakyat Blambangan setuju untuk lakukan perang puputan atau pertarungan habis-habisan. Mereka pilih gugur di medan pertandingan daripada harus menyerah pada VOC.
Pada 18 Desember 1771, kata Budi Setianto, seperti dituliskan Lekkerkerker dalam catatannya sebagai referensi penting dalam tulisan riwayat mengenai Puputan Bayu, beberapa ribu prajurit Blambangan bergerak ke arah ajang pertarungan. Ini adalah pucuk dari peperangan yang telah berjalan semenjak awal Agustus 1771.
Serta terjadi Puputan Bayu, perang besar di tanah Banyuwangi. Serangan pejuang Bayu yang tiba-tiba, membuat pasukan VOC tertekan. Waktu itu pasukan VOC banyak yang terjerat dalam perangkap yang diberi nama sungga (parit yang di dalamnya dipenuhi sunggrak) yang sudah dibikin oleh pejuang Bayu. Pasukan VOC yang terjerat serta dihujam dari atas.
“Belanda mengatakan serangan ini jadi de dramatische vernietiging van Compagniesleger (keruntuhan menegangkan pasukan kompeni). Sersan Mayor van Schaar, komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinne serta beberapa ratus serdadu Eropa yang lain meninggal dalam perang itu. Cuma beberapa serdadu yang masih ada. Sesaat, masyarakat Blambangan harus kehilangan pemimpinnya. Pangeran Jagapati gugur sehari selanjutnya, 19 Desember 1771, sebab terluka karena perang,” tutur Budi.
“Karena perang ini seputar 60.000 rakyat Blambangan (Banyuwangi) gugur, hilang, atau menyingkir ke rimba untuk selamatkan diri dari VOC. Angka itu dipandang besar sekali sebab jumlahnya masyarakat Blambangan saat itu 65.000 orang,” imbuhnya.
Tanggal berlangsungnya peperangan ini, 18 Desember, selanjutnya diputuskan jadi hari jadi Kabupaten Banyuwangi sebab jadi cikal akan terbentuknya daerah itu.
“Kabupaten Banyuwangi memutuskan tanggal 18 Desember jadi kebangkitan rakyat Blambangan menyerang VOC. Ini diputuskan serta di sahkan DPRD Banyuwangi juga,” ujarnya.